Didi Kempot adalah Solo

Gara-gara tulisan Agus Mulyadi di Mojok, ingatan akan Didi Kempot dan Kota Solo tiba-tiba nyamber.

Didi Kempot Hits pas aku masih SD di tengah maraknya lagu-lagu dari Padi, Dewa19, atau Ebiet G. Ade & Tembang Nostalgia. Lagu stasiun Balapan meledak di pasaran, Genre Campur Sari yang baru-baru itu aku dengar muncul sebagai alternatif, dan langsung rame. Radio lawas Bapak yang biasa dinyalakan siang-sore tak henti-hentinya memutar lagu-lagu itu. Membuat liriknya mau gak mau nempel banget. Stasiun Balapan dan Terminal Tirtonadi -khususnya- jadi terngiang-ngiang terus. Ya, dua ikon kota Solo ini.

Dasar anak SD yang jarang ke mana-mana (atau sudah tapi gak inget), akhirnya kelewat penasaran dan menjadikan dua tempat itu jadi must visit place before death. Anak Parakan, ingin ke Solo. Jauh sih memang, kira-kira jaraknya 100 km. Sungguh jauh untuk ukuran anak SD.

Akhirnya kesempatan jalan sendiri ke Solo ada juga. Tempat pertama yang akhirnya disinggahi adalah terminal tirtonadi. SMA kelas satu kalau tidak salah. Bertiga dengan Iwan dan Widi, dengan tujuan akhir Gemolong. Naik bus dari ungaran ke Solo dengan semangat karena masih siang, tapi tetap saja ketiduran, ketiga-tiga-nya. Pak Kondektur yang mbangunin, kami kaget karena hanya tinggal bertiga di bus. “Turune lanjut nang omah ae Mas, wes tekan ki”. “Nggih Pak”, sambil ngelap iler. Patut disyukuri tirtonadi adalah terminal terakhir bus itu. Kami turun, dan aku sempatkan melihat-lihat terminal ini. Belum foto-foto karena buat apa? Orang belum ada Instagram.

Kalau Stasiun Balapan pertama kali dikunjungi saat kuliah, tahun pertama. Ikut kakak angkatan dari Jogja mau ke Malang, buat jadi supporter. Tentunya dengan segala pengalaman kakak angkatan yang sudah melakukan ini dari tahun ke tahun, kami ikut. Kami harus ke Solo dulu, karena gak ada kereta api ekonomi dari Jogja ke Malang. Jam 9 malam dari Janti ke Solo, sampai Solo sebelum jam 12 malam, lanjut jalan kaki dari Tirtonadi ke Stasiun Balapan. Di jalanan yang sepi, rada gelap karena Solo pelit lampu jalan, dan tempat banci-banci yang sliweran. Konyol sekali rasanya kalau diingat. Tentunya dengan fakta bahwa saat itu banyak angkatanku yang orang solo atau orang Jatim, yang harusnya lebih paham tentang rute ini (Saat itu belum ada GMaps). Tapi karena kakak angkatan yang bicara, mereka diam saja, dan ikut juga. Aku akhirnya mikir, mungkin ini karena mereka juga masih terlalu cupu, gak punya pengalaman ke stasiun Balapan. Kami pun masuk stasiun Balapan gak lewat pintu depan, tapi jalan kaki dari persimpangan rel kereta dan jalan raya, dilanjutkan menyusuri rel kereta. Uwuwu sekali. Hal ini bisa terjadi karena saat itu tiket masih beli di atas kereta, tanpa tempat duduk, dan masih dengan pedagangnya yang jalan ke sana ke mari mengusap muka kita yang tidur di tengah jalan dengan kakinya. “Pop Mie, Pop Mie... Mijon, Mijon...“. Aku, Harry 08, Kribo, Juki, Didit Ahong, Anam?, Hafidh?, menikmati jegijek-jegijek kereta malam sambil tidur seadanya.
Duh Solo, ternyata menyimpan banyak kenangan, bodoh 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »