Ini semua rencana-Nya untuk Bapak

Ini semua rencana-Nya untuk Bapak
Tidak ada perasaan tidak enak, tidak ada tanda-tanda yg bisa dibaca kecuali mungkin perasaan ingin telfon beliau malam jumatnya. Sayangnya tidak jadi telfon karena terlampau malam. Aku mengurungkan niat telfon hari itu, berniat tunda sampai jumat malam, yang pada akhirnya tidak pernah kesampaian.

Sebenarnya aku sudah mulai menyiapkan diri menghadapi hal seperti ini. I know it will come, but I didn’t see it coming this soon. Mendengar beritanya masih kuat, tapi mengingat beliau, mendengar suara Ibu dan kakak, mendengar cerita tentang beliau dari teman dan saudara, aku gak kuat. Ada rasa sedih, terharu, lega, lengkap. Aku mengenal beliau dengan cukup baik, tapi mendengar cerita tentang beliau dari orang lain - meski isinya sama - rasanya beda. Satu hal yang pasti, di depan siapa pun, beliau tetap sama.

Bapak meninggal dalam kondisi sehat dan bugar – setidaknya menurut penglihatan kami. 15 Maret 2019, saat belum genap 4 tahun pensiun jadi guru. Beliau masih rutin badminton setiap kamis dan minggu, masih jalan pagi dua hari sekali. Hari itu, setelah sholat subuh dan siap-siap pagi seperti biasa, beliau merasa dadanya agak panas dan ingin tiduran sebentar. Ibu meng-iya-kan dan melanjutkan aktifitasnya. Beberapa saat kemudian ada suara orang jatuh dan Ibu bergegas menghampiri. Bapak sudah tergeletak di lantai, di ruang tamu, di antara kamarku dan pintu depan. Dengan mengenakan baju jalan pagi-nya yang biasa. Ibu langsung memeluk erat dan berteriak. Saudara dan tetangga datang. Bapak sudah tidak bergerak, tidak bernafas. Saat itu jam menunjukkan waktu Bapak biasa mengeluarkan motor Ibu. Hari itu, motor Ibu keluar rumah, tapi bukan Bapak yang mengeluarkan dan bukan ke sekolah tempat Ibu mengajar.

Bapak meninggal tanpa sebab yang jelas, mendadak, tanpa merepotkan banyak orang. Hanya sempat ke rumah sakit untuk pemastian meninggalnya. Setelah itu proses dari penggalian kubur, memandikan, mensholati, dan mengubur berjalan lancar dan cepat, saat cuaca masih terang. Badan Bapak meski rada besar di perut tapi masih kencang di kaki dan tangan berkat olah raga rutin. Sahabat Bapak dan ponakan masing-masing 2 orang membantu Ibu yang sendirian memandikan untuk terakhir kali, sambil menangis. Tidak ada kotoran keluar dari lubang-lubang tubuhnya. Mukanya bersih dan cerah. Tidak beda seperti saat beliau tidur. Ibu dan kakak bisa sholat jenazah, anak laki-laki dan menantunya hanya bisa sholat ghoib. Sebelum akhirnya Bapak dikubur setelah sholat jumat, selamanya.

Hari itu telfon pertama Ibu ke aku adalah setelah sholat jumat. Beliau minta ijin untuk mengubur Almarhum Bapak saat itu juga. Langsung aku jawab iya. Memang rencanaku begitu. Tidak ingin membuat Almarhum menunggu terlalu lama, merepotkan yang lain, dll. Ada rasa menyesal karena tidak bisa melihat Almarhum terakhir kali sebelum dikubur. Tetapi rasa lega-nya lebih besar. Terakhir video call, aku memberi kabar baik, yang beliau sambut dengan bahagia dan bangga. Ketemu terakhir juga sangat puas. Kami sekeluarga menghabiskan waktu seminggu lebih di Parakan, Ungaran, dan Malang. Almarhum Bapak bisa tidur dengan anaknya, cucunya, selama itu dengan sangat intim. Yang biasanya hanya 2-3 hari saja, ini seminggu lebih. Bicara banyak hal, cerita banyak hal, tertawa bareng, foto bareng. Meski capek berjalan, beliau sangat semangat menggendong dan bermain dengan cucunya. Wajahnya yang puas bisa membuat cucunya tidur di gendongannya – iya cucu yang gak bisa diem itu – gak akan bisa aku lupakan. Allah selalu punya rencana dan cara. Ini semua rencana-Nya untuk Bapak. Aku hanya percaya itu dan bersyukur karena itu.

Hal lain, cukup bersyukur hanya melihat tamu di hari sabtu, karena kalau melihat yang hari jumat mungkin gak bisa berhenti nangis sih. Masih keinget kata Naruto, “Jalan hidup seseorang dilihat dari cara dia meninggal”. Dalam islam, cara orang meninggal tergantung dari cara dia hidup, amalan semasa hidupnya, hablum minallah-hablum minnanas. Aku bisa melihat itu setelah beliau meninggal, dan Aku ingin seperti Bapak.

Dari cerita Ibu, Bapak dan Ibu - ketika sedang berdua saja - pernah ngobrol tentang kematian. Bapak bilang, “Kita sudah tua, pada akhirnya akan meninggal. Kalau bisa milih, lebih ingin aku duluan yang meninggal, aku gak akan kuat kalau Ibu meninggal duluan.”

Ada 3 momen menangis yang aku ingat. Salah duanya karena Bapak.
1. Nangis pertama yang membekas, karena dimarahi Bapak. Belum pernah semarah itu. Lupa tepatnya kapan dan apa alasan aku dimarahi, yang jelas aku mengecewakan beliau. Jadi sejak saat itu, aku janji untuk tidak lagi mengecewakan beliau.
2. Sekitar tahun 2009 akhir atau awal 2010 lupa, jaman kuliah. Di kamar kosan, sendirian, aku menangis karena membaca komik. Saat orang tua protagonisnya meninggal.
3. Kemarin.

Kayaknya gak bakal bisa nangis lagi dalam waktu dekat sih, udah habis kemarin.

Thai, 250319

like father like son

like father like son
Sudah sewajarnya anak akan mirip dengan orang tuanya. Ada yang mirip dalam segi fisik, tidak jarang pula yang kemiripan itu lebih banyak dalam segi sifat. Itu wajar. Saya pun demikian. Ada yang bilang mirip ibu. Ada yang bilang mirip adiknya ibu. Sayangnya gak ada yang bilang aku mirip bapak. Iya dalam segi fisik. Muka lebih spesifiknya. Memang begitu sih, gak begitu mirip. Aku pun merasa demikian. Sayangnya aku pun gak merasa muka mirip ibu. Jadi aku ini anak siapa? haha.. yaah, setidaknya sampai sebelum aku kuliah.

Sejak masuk kuliah, Aku merasa makin mirip bapak, atau dalam beberapa hal mirip ibu. Secara fisik karena makin berisi dan mukanya lebih mateng. Beberapa teman bapak bilang demikian. Dalam pikiran mungkin karena aku sudah mulai berfikir dengan lebih dewasa? mungkin saja, meski sepertinya tidak. Yang jelas dalam beberapa hal, aku merasa mulai mirip. Ini pendapat pribadi, jadi jika mau protes sampaikan di comment, jangan masuk artikel, haa.. Sifat gak mau kalah dalam berpendapat. Salah gak apa-apa, yang penting ngotot dulu. Itu saya. Bapak, lebih dewasa, lebih banyak pengalaman, jadi salahnya sedikit, tapi tetap ada. Dan ketika dia salah dan aku benar, adu pendapat, maka tidak akan ada habisnya. Ibu dengan santainya malah tertawa. Merasa percuma mungkin melerai. Pernah kejadian kok, sering malah. Dan ketika sudah selesai, ibu akan mendekatiku, dan membisikkan, "nek gek rame ngono kui persis banget." sambil tersenyum. "ora ono sing gelem kalah". hagrrr..

Hal lainnya mungkin kebiasaan. Atau aku yang memang mengikuti cara yg bapak ajarkan. Mempersiapkan hal secara detail dan serapi mungkin. Baik dalam kegiatan sehari-hari, ataupun dalam tulisan dan hasil karya. Sebelum kenal 4S dari pabrik, aku lebih dulu mengenal cara itu dari Bapak, meski gak pakai nama 4S itu. Aku akan bingung atau merasa aneh ketika hal berubah, beda dengan kebiasaan. Ketika aku memakai tas kecil slempang, maka kunci kosan akan ada di bagian terdepan tas. Hampir pasti. Masuk kosan, kunci kosan akan ada di atas kasur, atau meja sebelah kipas angin. It's a must also. Bukan berarti tidak suka perubahan, tapi ini masalah kebiasaan, lebih suka ketika semua benda, dan tugas, dan apalah itu, ada pada tempat yang seharusnya. Sudah masuk alam bawah sadar. Masalahnya kalau lagi pas nyeleneh aja sih, naruh gak sesuai tempatnya malah bakal jadi bingung nyarinya, haha. 

Bentuk badan sih keturunan. Tipe kaki yang sama, sepatu yang seukuran, baju dan celana yang bisa saling tukar. Sama refleks olah raga juga keturunan, bisa dibilang bakat. Bukan sombong, meski fisik gak tinggi, bapak dapat loncat dengan sangat tinggi. Seperti itulah yang aku dengar dari teman-temannya. Sayangnya aku gak setinggi itu loncatnya. Dia bisa bermain di semua olah raga, aku pun demikian. Sekarang dia lebih ke badminton, sedang aku masih lebih suka sepak bola. Kami sama sama pernah bermain sepak bola untuk tim kauman, kampungku. Sudah banyak tanding juga. Posisi defender, sama, bedanya dia kadang main sebagai forward, aku selalu defender. Sama-sama pemain inti juga. Pernah suatu ketika aku bermain, teman satu tim bapak dulu melihat, dan ketika bertemu bapak dia bilang "maine podo bapakne" mendengar itu seperti biasa, tak mau kalah. "wah yo gak mungkin, apik aku pisan pindo". Melihatku menang pun biasa saja. Memang seperti itu. hahaa.. yaah memang anaknya ini harus lebih berusaha, melebihinya.

Aku seperti anak kecil pada umumnya, mengidolakan sang bapak. Dia panutan, contoh, teman, guru, imam, dan seperti itulah. Pribadi yang pengin aku samai, tapi sepertinya bapak pengen aku melebihinya, meski tidak tampak seperti itu. Ya gimana gak pengen minimal disamai, dia adalah orang yang sangat baik, bukan hanya aku yang bilang. Seorang pribadi yang tangguh dan cerdas.

Tulisan lama yang akhirnya diposting.