Cerita Bapak #1: Ilmu Pengetahuan

Salah satu kebiasaan dengan Bapak dan keluarga yang aku seneng banget untuk melakukannya adalah duduk di mushola rumah sambil ngobrol ke sana ke mari, waktu antara sholat magrib dan isya. Baru aku sadari ternyata momen itu adalah cara Bapak dan Ibu untuk mendengar aku bercerita, menyelesaikan masalah, dan mendidik-ku, tentang banyak sekali hal. Bapak melakukannya dengan sangat baik, lewat obrolan ringan, lewat cerita-cerita. Bukan dengan digurui. Soalnya digurui udah sesiangan. Sama guru di sekolah. Dan di situ topiknya lebih banyak tentang agama, kepercayaan, atau materi umum yang pada akhirnya sampai juga ke sana. Setiap hari topik yang berbeda, tapi karena keterbatasan memori, aku hanya bisa mengingat dan bisa menuliskan beberapa saja. Yang lain entah sudah lupa, atau sudah jadi kebiasaan sampai tidak sadar.

Pernah waktu itu Bapak bercerita ada seorang peneliti dunia, pada satu titik menyadari bahwa hasil penelitiannya ternyata sudah ada di Al-Quran. Orang itu, kemudian masuk Islam. Waktu itu yang kami bahas ada 2 orang. Pertama, seorang Doktor yang menemukan air tawar dan air asin tidak bercampur di laut lepas. Air tawar dan asin tidak nyampur, di tengah laut, bukan di hilir sungai, rada sulit diterima logika. Doktor itu kemudian diskusi dengan seorang Muslim dan disampaikanlah bahwa fenomena ini sudah ditulis di Al-Quran. Meluluhlah dia. Yang kedua tentang seorang Doktor Neuroscience, menemukan bahwa ada satu saluran pembuluh darah di otak, yang hanya bisa dilewati darah ketika kita posisi sujud. Sujud, salah satu gerakan sholat, yang mana perintah untuk Sholat itu ada di Al-Quran.

Diskusi berlanjut ke Al-Quran dan Ilmu pengetahuan. Bapak saat itu bilang, “Al-Quran sudah ada ribuan tahun yang lalu, tapi hal yang baru ditemukan peneliti itu, ternyata sudah ada di sana. Padahal tentu teknologi pada masa itu belum menjangkaunya sama sekali. Keren kan. Al-Quran juga isinya makin terbuka seiring pengetahuan kita yang bertambah”. Aku meng-amini itu. “Islam adalah agama terakhir, yang akan ada sampai akhir zaman. Kata Al-Quran itu. Bukan kata Bapak. Dan apa yang akan jadi pedoman umat Islam untuk sampai kiamat nanti? Al-Quran dan Hadist. Maka untuk bisa melewati berbagai zaman ini, Al-Quran dibuat oleh Allah bisa terus relevan, dan lebih special karena ia dijaga oleh Allah sendiri. Ini salah satu Mukjizat Al-Quran, yang ada di salah satu ayatnya”. Aku mengangguk mengiyakan. Karena pernah juga mendengar Mukjizat Al-Quran ini.

“Sejak Nabi tiada, Al-Quran terus dibaca dan ditafsirkan orang-orang. Orang yang menafsirkan Al-Quran pada suatu waktu, bisa beda dengan dia menafsirkannya beberapa tahun kemudian. Apa yang membuatnya beda? Pengetahuan”. Islam memang sangat meninggikan ilmu pengetahuan. Beliau menambahi, “Semakin dalam ilmu kita tentang apa pun, bisa dibilang bertambahnya referensi, cara kita memahami dan menafsirkan sesuatu akan berbeda. Makanya ada beberapa Mazhab Islam. Beda pendapat antar ulama atau ahli tafsir itu keniscayaan, tetapi mereka akan diskusikan, dan pada akhirnya bersepakat. Kemudian kita juga temui ada beberapa penulis hadist. Kalau hadist lebih karena pada saat itu kan yang mengikuti Nabi sangat banyak. Tidak semua orang mengikuti Nabi dari bangun sampai tidur lagi. Keterbatasan sahabat dalam melihat Nabi ini, yang bisa jadi menimbulkan perbedaan pendapat antar satu dengan yang lain”. Aku gak bisa berkata-kata, hanya melongo. Bapak kemudian lanjut cerita tentang ada hadist Bukhari dan Muslim yang berbeda, beliau bilang hal itu bisa saja terjadi. Jadi ketika bersama Bukhari Nabi memang melakukan itu, tapi pada saat bersama Muslim kebetulan Nabi melakukan dengan cara lain, tentu tanpa meninggalkan substansinya. Lupa hadist-nya yang mana, tapi penjelasannya kira-kira seperti itu. PR buatku untuk mencari-nya.

Kemudian aku bertanya tentang apa itu substansi. Bapak menjawab, “Substansi itu inti dari suatu hal. Ada hal-hal atau aturan-aturan yang pasti di Islam, yang ditulis dengan jelas di Al-Quran atau Hadist. Tetapi ada lebih banyak hal yang kita bebas menterjemahkannya. Salah satu alasan kenapa Islam bisa terus relevan sepanjang zaman, karena dia tidak terikat bentuk, tapi lebih kepada substansi ini. Bentuk bisa berubah tergantung zaman, tapi substansi-nya harus tetap. Contoh: Adzan. Di zaman Nabi, diceritakan saat waktu sholat tiba, Bilal akan naik ke tempat yang tinggi, dan bersuara sangat keras agar semua orang mendengar adzan dan berbegas untuk sholat. Mungkin saat itu bisa dilakukan, karena orangnya masih ngumpul di satu tempat itu saja, belum banyak. Sekarang, adzan-nya tetap, tapi kita pakai speaker dari Masjid, agar jangakauannya luas (karena muslim sudah banyak). Adzan, substansi-nya memanggil orang untuk Sholat. Bentuknya, dulu langsung teriak, sekarang pakai Mic dan speaker. Substansi-nya tetap, bentuknya berubah. Apakah pakai mic & speaker dilarang karena Nabi tidak melakukan? Ya enggak, karena niatnya agar panggilan adzan ini tersampaikan. Dan perlu diingat, dalam islam, fitrahnya semua boleh, sampai ada yang membuatnya tidak.”

Beliau selalu memintaku jadi anak yang cerdas, jadi anak yang berfikir. Memintaku untuk terus belajar, melihat sekitar, dan jangan berhenti. Beliau tidak melarangku membaca komik, bermain sepak bola, atau pun mencoba banyak hal. Aku pikir karena selama itu bisa jadi Ilmu, ya nggk apa-apa. Itu adalah asset yang sangat berharga. Beliau hanya mengingatkan untuk selalu tau batas. Aku juga yakin beliau selalu mendoakanku agar Allah memberiku petunjuk untuk menjadi seperti apa yang Bapak harapkan ini. Maka aku juga harus berjanji pada diri sendiri untuk melaksanakan pesan-pesan Bapak ini. Sebagai cara terbaik menghormati beliau. Kemudian apa selanjutnya? Mereplika caranya hidup. Yang baik-baik tentu saja.

Untuk Bapak, Ayah, Papa, Abi hebat di seluruh dunia, semoga kuat dan amanah!
Juga untuk calon Bapak, siap2 lah!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »