Seorang anak
SMP kelas 2, baru selesai ganti seragam di dalam kelasnya setelah selesai
pelajaran olah raga. Memasang kancing kemeja sambil berjalan keluar kelas,
buru2 mau ke kantin gabung dengan yang lain. Brukk. Keluar kelas langsung belok
kiri nggk lihat2, dia tabrakan dengan satu perempuan -sebut saja Ms F - yang
sama nggk lihat jalannya karena sambil ngobrol. Tabrakan badan dengan badan,
dagu dengan jidat. Sempat kaget dan saling pandang beberapa detik, mereka
berlalu. Dari hari itu, caranya melihat Ms F jadi beda. Entah tabrakan itu
mengaktifkan apa dalam dirinya.
Di kelas
2-1 itu ada 4 kolom, 6-7 baris. Total sekitar 47 siswa. Pintu masuk di bagian
depan, sisi kanan dari posisi murid duduk menghadap depan. Posisi guru di sisi paling
kiri, lurus dari pintu masuk. Si anak laki-laki duduk di meja kolom kedua dari pintu,
baris ke-lima. Ms F duduk di kolom pertama, paling kanan, baris pertama persis
di depan pintu masuk kelas. Secara teori, posisi ini cukup strategis bagi si
anak, melihat kiri depan ada guru fokus ke pelajaran, lihat kanan ada Ms F – eh
pintu keluar, kesannya pengen buru-buru keluar. Sampai akhirnya lama kelamaan
melihat ke kiri kok ada teman-nya baris kedua di depan meja guru, malah melihat
ke arah pintu. Apakah temannya ini juga sama saja, pengen cepet pulang, atau ada
seseorang di arah tersebut yang menarik perhatiannya? Who knows.
Rasa
ketertarikan si anak ini ke lawan jenis emang telat, baru kelas 2 SMP. Bandingkan
dengan anak lain yang mungkin sejak akhir masa SD atau awal kelas 1 SMP sudah
merasakan itu. Dia juga baru sadar yang lain sudah dari lama ya karena sekian
kali melihat sahabat di depan meja guru itu ternyata memperhatikan hal yang
sama dengan yang dia lihat, pintu keluar – meja paling dekat dengan pintu
maksudnya. Entah disamber apa, sahabatnya ini tiba-tiba cerita tentang Ms F,
dan rasa ketertarikannya, termasuk fakta bahwa dia sudah memperhatikannya sejak
kelas 1, karena memang sudah sekelas. Si anak yang baru beberapa minggu ini
mengamati jelas tidak bisa dibandingkan, jauuh. Riset sahabatnya ini lebih
advance, sudah tau tanggal ultah sampai rumahnya. Puncaknya setelah Class
Meeting semester akhir, sahabatnya ini minta ditemenin ke rumah Ms F. Dia mau
ngasih sesuatu – lupa tepatnya apa – yang pokoknya proses ini akan sangat bikin
malu kalau dilakukan di sekolah. Si anak dengan senang hati menemani,
kesempatan tau rumahnya, melihatnya di rumah.
Kedua anak
SMP ini akhirnya sampai di rumah Ms F, disambut Ibunya dengan ramah, mukanya
mirip bener. Dipersilakan masuk, duduk di karpet, sempat dikasih minum sampai
ayahnya keluar untuk sekedar menyapa – tentu dengan muka ayah yang masih belum
rela anak perempuannya didatangin laki-laki. Kami akhirnya mulai ngobrol, berempat
dengan ibunya sebentar, sampai akhirnya cuma bertiga dan sahabat ini ngasih
barang. Obrolan cukup mengalir, tapi dari si anak dan Ms F, bukan dari si
sahabat yang kaku kaya air putih masuk ke freezer. Kami pamit setelah 30
menitan di sana. Si sahabat menggenggam tangan kanan si anak setelah keluar
dari rumahnya. Telapak tanggannya sedingin es. “Sikak grogi banget”, ujarnya.
Si anak ketawa lepas, menertawai ke-grogi-an sahabatnya ini dan tentunya tawa
bahagia bisa sampai rumah Ms F dan ngobrol dengannya. Entah siapa yang lebih advance
di mata Ms F setelah kedatangan kami ini, si anak tidak peduli. Pada
akhirnya rasa yang ada tinggal lega dan ikhlas karena ya mereka berdua, bukan orang
lain. Baru mekar sebentar, sudah dibawa terbang sahabat sendiri. Tinggal gimana
sisa benih ini dipupuk dengan pengalaman cinta yang lain lagi. Toh emang baru
buka tirai, menuju kehidupan remaja pada umumnya.